A. Definisi
:
Body Dysmorphic Disorder (BDD) awalnya dikategorikan sebagai dysmorphophobia.
Istilah tersebut untuk pertama kalinya dimunculkan oleh seorang doktor Italia
yang bernama Morselli pada tahun 1886. Dysmorphophobia berasal dari
bahasa Yunani, “dysmorph” yang berarti misshapen dalam bahasa
Inggris. Kemudian namanya diresmikan oleh American Psychiatric
Classification menjadi Body Dysmorphic Disorder (BDD). Sebenarnya,
sejak Freud praktek sudah disinyalir mengenai gejala ini yang oleh Freud
sendiri dinamakan sebagai ‘wolf man’. Karena gejala Body Dysmorphic
Disorder (BDD) tersebut terjadi pada seorang pria bernama Sergei Pankejeff yang
mempunyai masalah dengan kecemasan terhadap bentuk hidungnya.
Secara sederhana, seorang yang terkena gangguan Body
Dysmorphic Disorder (BDD) selalu mencemaskan penampilan karena merasa memiliki
kekurangan pada tubuhnya (body image yang negatif). Body image adalah
suatu pandangan internal seseorang mengenai penampilannya. “Body image is
an internal view of one’s own appearance” (Thompson, 2002). Body
image juga mengandung arti sebagai persepsi dan penilaian tubuh, fungsi
fisik, dan penampilan seseorang terhadap dirinya sendiri (Taylor, 2003:525).
Menurut Roberta Honigman & David J. Castle, body image adalah
gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya; bagaimana
seseorang mempersepsi dan memberikan penilaian atas apa yang dia pikirkan dan
rasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuhnya, dan atas bagaimana ‘kira-kira
penilaian orang lain terhadap dirinya. Sebenarnya, apa yang dia pikirkan dan
rasakan, belum tentu benar-benar merepresentasikan keadaan yang aktual, namun
lebih merupakan hasil penilaian diri yang subyektif. Body Dysmorphic
Disorder adalah suatu kondisi yang
ditandai oleh preokupasi yang
berlebihan dari defek minor atau imajinasi pada bentuk wajah maupun bagian tubuh tertentu. Gangguan tersebut
dapat menyebabkan penurunan
fungsi sosial, pekerjaan dan pendidikan individu. Body Dysmorphic Disorder
dikarakteristikan oleh derajat kekhawatiran dan perhatian yang tidak biasa tentang bagian spesifik dari wajah
atau tubuh (Kirchner , 2008).
B. Penyebabnya
Mekanisme penyebab dari Body Dysmorphic Disorder masih sedikit yang diketahui dan sampai saat ini, belum ada penelitian yang memastikan
penyebab Body Dysmorphic Disorder
(BDD) dengan jelas. Riwayat dilecehkan tubuhnya pada masa kanak-kanak, tidak
dicintai orang tua, dan mempunyai penyakit yang mempengaruhi penampilan,
jerawat misalnya, bisa dikategorikan menjadi penyebab gejala Body Dysmorphic Disorder (BDD). Jika
diklasifikasikan, ada dua aspek yang masih menjadi dugaan penyebab Body Dysmorphic Disorder (BDD). Pertama,
adanya ketidakseimbangan cairan kimia (hormon serotonin) di dalam otak,
yang berpengaruh terhadap kapasitas obsesi. Kedua, kemungkinan
faktor-faktor sifat, psikologis, maupun budaya.. Terdapat
bukti yang menyebutkan terdapat hubungan dengan keluarga yang tinggal satu
rumah dan hubungan genetik dari penderita yang Obsessif-Compulsive Disorder .
C. Gejala
Body Dysmorphic Disorder (BDD)
Bentuk-bentuk perilaku yang mengindikasikan Body
Dysmorphic Disorder (BDD) (menurut Watkins, 2006; Thompson, 2002; Wikipedia,
2006; Weinshenker, 2001; dan David Veale) adalah sebagai berikut.
1.
Secara
berkala mengamati bentuk penampilan lebih dari satu jam per hari atau
menghindari sesuatu yang dapat memperlihatkan penampilan, seperti melalui
cermin atau kamera.
2.
Mengukur
atau menyentuh kekurangan yang dirasakannya secara berulang-ulang.
3.
Meminta
pendapat yang dapat mengukuhkan penampilan setiap saat.
4.
Mengkamuflasekan
kekurangan fisik yang dirasakannya.
5.
Menghindari
situasi dan hubungan sosial.
6.
Mempunyai
sikap obsesi terhadap selebritis atau model yang mempengaruhi idealitas
penampilan fisiknya.
7.
Berpikir
untuk melakukan operasi plastik.
8.
Selalu
tidak puas dengan diagnosis dermatologist atau ahli bedah plastik.
9.
Mengubah-ubah
gaya dan model rambut untuk menutupi kekurangan yang dirasakannya.
10.
Mengubah
warna kulit yang diharapkan memberi kepuasan pada penampilan.
11.
Berdiet
secara ketat dengan kepuasan tanpa akhir.
Weinshenker (2001) menyatakan bahwa kecemasan, rasa malu
dan juga depresi acap kali merupakan konsekuensi dari gangguan ini.
D. Pencegahannya
Tidak diketahui secara pasti apakah Body Dysmorphic Disorder dapat dicegah (pencegahan primer).
Pengembangan diri tentang citra diri terhadap tubuh/ fisiknya merupakan salah
satu pencegahan primer yang dapat dilakukan. Terapi awal dan diagnosis dini
(pencegahan sekunder) diperlukan sesegera mungkin
setelah onset untuk mencegah perburukan gejala.
E.
Penyembuhannya
1.
Psikoterapi: merupakan konseling
pribadi yang bertujuan untuk mengubah pola
pikir (terapi kognitif) pasien dan tingkah laku (terapi tingkah laku) penderita Body Dysmorphic Disorder . Tujuannya
adalah untuk mengoreksi anggapan yang salah mengenai ketidaksempurnaan
fisik dan mengurangitindakan kompulsif.
2.
Obat-obatan:
pemberian antidepresan seperti SSRI menunjukkan perbaikan gejala bagi
pasien Body Dysmorphic Disorder.
3.
Dukungan keluarga
dan orang-orang di lingkungan sekitar. Dukungan keluarga ditunjukkan dengan menemani pasien di masa-masa sulit, menyemangati serta turut mengerti dan memahami gejala dan tanda dari Body Dysmorphic Disorder (Cleveland Clinic, 2009)